Kamis, 07 Mei 2009

kekuasaan itu HARUS diREBUT

Taken from…


Kekuasaan itu harus direbut...

Utbah bin Rabiah datang menemui Rasulullah SAW. Setelah berbincang panjang lebar, tokoh Quraisy itu segera berkata, “Wahai Muhammad, sekarang dengar baik-baik. Aku akan menawarkan beberapa hal. Mungkin engkau bisa menerima salah satu di antaranya. Kalau dengan DAKWAHmu itu engkau ingin KEKAYAAN, maka kami akan kumpulkan harta untukmu sehingga engkau menjadi ORANG TERKAYA di antara kami.

Kalau engkau ingin KEHORMATAN dan KEMULIAAN, engkau kami angkat sebagai PEMIMPIN. Kami tak kan memutuskan persoalan tanpa persetujuanmu. Kalau engkau ingin menjadi RAJA, kami bersedia MENOBATKANMU sebagai raja….”

Peristiwa ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq seperti dituturkan Ibnu Hisyam dalam sirah-nya. Jika misi utama Rasulullah SAW sekadar jadi PENGUASA, maka tawaran tokoh Quraisy itu merupakan KESEMPATAN EMAS yang tak boleh disia-siakan. Namun, dalam ucapan Utbah terkandung syarat, semua akan diberikan kalau dakwah Nabi memang bertujuan untuk itu semua. Utbah ingin menegaskan, kalau semua seruan dakwah Nabi selama ini hanya untuk merebut kekuasaan dan mengumpulkan harta, maka tidak perlu susah-susah. Kafir Quraisy akan memberikannya asal seruan tauhid dihentikan. 

Tawaran menggiurkan seperti ini TAK MUSTAHIL akan dihadapi AKTIVIS DAKWAH di masa SEKARANG. Bentuknya bisa beragam. Bisa berbentuk jabatan, uang atau iming-iming janji. Kaum Muslimin dalam kedudukannya sebagai pimpinan, kader, atau simpatisan harus mampu menempatkan posisi. Karena tujuan DAKWAH memang BUKAN KEKUASAAN, HARTA atau JABATAN. Ketiga komponen tersebut hanyalah SARANA. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah engkau meminta kepemimpinan (imarah). Jika engkau menerima kepemimpinan atas dasar permintaan, niscaya akan membebanimu. Jika kepemimpinan itu diberikan bukan atas dasar ambisi, engkau akan ditolong (dalam melaksanakannya),” (HR an-Nasa’i). 
Namun demikian, bukan berarti kaum Muslimin harus alergi terhadap kekuasan, jabatan dan harta. Bahkan, dalam keadaan tertentu KEKUASAAN HARUS DIREBUT. Dalam kondisi tertentu, kepemimpinan HARUS DIMINTA. 
Tentu saja, kemauan untuk menjadi pemimpin hendaknya TAK berlandaskan AMBISI, tapi sebuah KEWAJARAN. Ia harus tumbuh dari sesuatu yang wajar, bukan rekayasa dengan memanipulasi kelemahan orang lain. Karenanya, sebaiknya permintaan untuk dijadikan pemimpin, bukan ditujukan kepada manusia, tapi kepada Allah. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang bertakwa’,” (QS al-Furqan: 74). 
Dalam bentuk yang lebih konkret Nabi Yusuf AS mencontohkan. Dengan terang-terangan dia menyatakan keinginannya untuk menjadi PEMIMPIN. Bahkan, untuk itu ia menyampaikan beberapa kelebihan dan keahlian yang ia miliki. Pernyataan Nabi Yusuf itu diabadikan dalam al-Qur’an, “Yusuf berkata, ‘Jadikanlah aku bendahara negara karena aku orang yang pandai (hafizh) dan berpengetahuan (‘alim)’,” (QS Yusuf: 55). 
Jadi, dalam keadaan tertentu kepemimpinan HARUS DIMINTA. TAPI, SIAPAKAH YANG BERHAK MEMINTANYA? Kalau kita perhatikan perjalanan sejarah kejayaan dan keabadian umat manusia, kita akan mendapatkan kenyataan: sebagian besar para Nabi adalah pemimpin. Sebut misalnya, Adam, Nuh, Ibrahim, Sulaiman, Yusuf dan Muhammad saw. Mereka adalah PEMIMPIN. 
Namun, kita juga menemukan REALITA, para Nabi dan pemimpin itu tak langsung lahir sebagai pemimpin. Mereka LAHIR dan BESAR dalam kancah PERGERAKAN. Mereka menjadi pemimpin melalui PROSES. Dengan demikian, sangat TAK BISA DITERIMA kalau ada yang UJUG-UJUG DATANG MENAWARKAN DIRI jadi pemimpin sementara selama ini tak ada kiprah yang ia lakukan. 
Para Nabi itu menjadi pemimpin setelah melalui proses pematangan. Sebelum menjadi pemimpin Bani Israel, Nabi Musa harus menjadi aktivis penentang kezaliman Fir’aun. Ia harus menjadi buronan dan hidup di negeri rantau. Ia sempat menjadi penggembala kambing. 
Sebelum menjadi penguasa Mesir, Nabi Yusuf adalah korban kecemburuan. Ia dibuang ke dalam sumur, menjadi budak yang diperjual belikan. Bahkan, ia sempat mendekam dalam penjara. Realita ini juga yang menjelaskan mengapa Rasululullah SAW tak menerima begitu saja tawaran Utbah bin Rabiah. Kekuasaan tak bisa berdiri sendiri. KEPEMIMPINAN MEMERLUKAN DUKUNGAN, PROSES, DAN HARAKAH (PERGERAKAN). 
Namun, yang disebut harakah (pergerakan) tak boleh DIAM. Tak boleh berjalan di tempat. Ia HARUS BERGERAK. Tak sepantasnya seorang aktivis hanya puas dengan memimpin harakah. Ada waktunya mereka tampil menjadi PEMIMPIN yang lebih BESAR. Inilah yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat hingga mereka mampu menjadi penguasa. 
Kita sering menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi kita jarang berpikir untuk menjadi ‘amir (penguasa) atau menyiapkan ‘amir. Padahal, AMAR MA’RUF akan bisa berlangsung dengan EFEKTIF, jika DIDUKUNG oleh ‘AMIR. Bagaimana mungkin kita bisa memerintah kalau tidak ada pemerintah? 
Sekarang peluang terbuka. Pertanyaannya, Siapkah kita bersaing? Siapkah kita bertempur? Siapkah kita mengalahkan lawan? Pertempuran yang kita hadapi sekarang bukan hanya menghadapi cacian, makian dan hinaan seperti yang dialami Rasulullah SAW pada periode Makkah.
Kita berdiri di MADINAH! Di depan kita membentang medan Badar. Di depan sana ada bukit Uhud. Pasukan Ahzab pun mengepung kita dari segenap penjuru siap melancarkan serbuan. 
Kita berhadapan bukan dengan orang-orang seperti kafir Quraisy yang tak rela kekuasaannya direbut. Di tengah kita menyusup keturunan Abdullah bin Ubay, sang munafik yang merasa tersaingi. Di depan kita berdiri orang-orang Yahudi yang tak pernah rela Islam tegak di muka bumi. Kini, sebagian kita berada di medan Badar. 
Sosok seperti Utbah bin Rabiah tak hanya akan memberikan tawaran MENGGIURKAN. Ia akan datang bersama saudaranya, Syaibah bin Utbah dan putranya, Walid bin Utbah untuk menantang duel. Ya, menantang perang satu lawan satu. Tugas kita adalah menyiapkan sosok Ali bin Abi Thalib untuk melawan Walid bin Utbah. Menyiapkan Hamzah bin Abdul Muthalib untuk menghabisi Syaibah bin Rabiah. Menyiapkan Ubaidah bin Harits untuk menerima tantangan Utbah bin Rabiah. 
Kini, sebagian kita berada di MEDAN UHUD. Di seberang sana, pasukan lawan sudah menunggu. Tugas kita adalah MENYIAPKAN STRATEGI. MENYIAPKAN PASUKAN PEMANAH untuk berdiam di bukit Rumat dan TAK BOLEH TURUN, bagaimana pun keadaan perang. Di antara kita harus ada ABU DUJANAH yang siap memenuhi HAK PEDANG RASULULLAH saw. Di antara kita HARUS ada HAMZAH bin ABUL MUTHALIB yang siap bertempur sampai TITIK DARAH PENGHABISAN. PERANG BENAR-BENAR sudah di DEPAN MATA. TINGGAL HITUNGAN HARI. 

Memang, jika tiba saatnya KEMENANGAN PASTI DATANG. Tapi BUKAN tugas kita untuk MENUNGGU. KEMENANGAN itu HARUS DISAMBUT. KEKUASAAN ITU HARUS DIREBUT. SEKARANG SAATNYA…



.|Ikhwatiyfillah, hayya na’mal shalihan
.|BeRGeRaK & TeRuS BeRJuanG…!!!
.|umairluthfi@gmail.com

Tidak ada komentar: